BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Stabilitas ekonomi makro merupakan faktor fundamental untuk menjamin pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Upaya untuk menjaga stabilitas ekonomi makro tersebut dilakukan melalui langkah-langkah tertentu untuk memperkuat daya tahan perekonomian domestik terhadap berbagai gejolak (shocks) yang muncul, baik dari dalam maupun dari luar negeri. Koordinasi kebijakan fiskal, moneter, sektor riil, dan daerah mutlak diperlukan untuk mengantisipasi gejolak perekonomian dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Di sisi moneter, upaya tersebut disertai dengan program kegiatan pembangunan yang dalam pelaksanaannya diharuskan menyertakan langkah-langkah untuk mengendalikan laju inflasi dan stabilitas nilai tukar. Meskipun dalam Semester I tahun 2009, tekanan kenaikan harga beberapa komoditas pangan pokok dan komoditas energi dan pertambangan dunia menurun, perkembangannya pada akhir tahun 2009 dan tahun 2010 perlu tetap diwaspadai. Stabilitas ekonomi yang membaik didukung oleh langkahlangkah penguatan dalam sektor keuangan yang mendorong kegiatan ekonomi agar meningkat lebih tinggi dan berkualitas.
Untuk meningkatkan kinerja dan kesinambungan sektor keuangan sebagai sumber pendanaan pembangunan, kebijakan sektor keuangan diarahkan pada upaya menjaga ketahanan industri jasa keuangan, peningkatan fungsi intermediasi dana masyarakat, serta pengembangan sistem jaring pengaman sektor keuangan. Sebagai lembaga keuangan yang mempunyai fungsi intermediasi keuangan terbesar di Indonesia, perbankan nasional diarahkan untuk dapat lebih berperan dalam mendorong pembangunan dalam berbagai sektor dengan penyaluran kredit yang lebih merata di seluruh wilayah tanah air, serta terjangkau oleh seluruh pelaku ekonomi terutama usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Kegiatan pasar modal akan diupayakan agar segera pulih kembali sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Tekanan krisis keuangan global, gejolak harga komoditas, serta ekspektasi resesi ekonomi di berbagai kawasan sejak pertengahan 2007 memberikan pengaruh signifikan terhadap stabilitas ekonomi makro. Secara terkoordinasi Pemerintah dan Bank Indonesia telah mengeluarkan langkah-langkah stabilisasi ekonomi sebagai bagian dari upaya meminimalkan dampak gejolak pasar keuangan global, yang dapat direspon cukup baik oleh pelaku pasar dan masyarakat sehingga dapat menjaga kepercayaan masyarakat pada sektor keuangan di Indonesia. Pada industri perbankan, dalam rangka mewujudkan sektor keuangan yang sehat, kuat, dan efisien serta meningkatkan intermediasi perbankan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi terutama mendukung pertumbuhan sektor riil, telah disusun Arsitektur Perbankan Indonesia (API) yang merupakan program jangka panjang. Upaya-upaya dimaksud telah terbukti dengan daya tahan perbankan nasional yang semakin tidak rentan terhadap krisis keuangan global.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, penyusun dapat merumuskan beberapa masalah yang berkaitan dengan kebijaksanaan stabilisisa, diantaranya adalah:
1. Apakah yang dimaksud dengan kebijaksanaan stabilisasi?
2. Apa tujuan penerapan kebiijakan stabilisasi?
3. Bagaimanakah kebijaksaan stabilisasi diterapkan di Indonesia?
C. Tujuan
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penyusunan makalah ini adalah:
1. Untuk lebih memahami maksud kebijaksanaan stabilisasi
2. Untuk mengetehui tujuan penerapan kebijaksanaan stabilisasi
3. Untuk mengeetahui dan memahami kebijaksanaan diterapkan di Indonesia
BAB II
STABILIZATION POLICES IN DEVELOPING COUNTRIES : SOME POLICY CONSIDERATION
(Andrew D. Crockett)
Stabilisasi ekonomi dapat didefinisikan sebagai usaha-usaha untuk memperbaiki keseimbangan antara penawaran da permintaan agregat dalam perekonomian, dengan tujuan untuk mengurangi inflasi dan memperkuat posisi neraca pembayaran internasional. Persoalan tentang bagaimana kebijaksanaan stabilisasi mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, merupakan perdebatan/kontraversi antara Monetarist dan kaum Structuralist (keynesians) dalam periode 1950-an dan 1960-an. Artikel Croccket ini berusaha mengetengahkan beberapa pertimbangan dalam hubungannya dengan kebijkasanaan stabilisasi di negara-negara yang sedang berkembang.
Menurut Monetarists, inflasi dan memburuknya posisi neraca pembayaran adalah selalu disebabkan oleh dibiarkannya ‘agregat demand’ melebihi ‘ agregat supplay’. Oleh karena itu, tindakan stabilisasi yang harus dilakukan adalah membatasi ‘agregat demand’ sehingga sesuai dengan kapasita s penawaran.
Sebaliknya kaum Structuralist berpendapat bahwa kapasitas produksi itu belum dimanfaatkan sepenuhnya. Seharusnya aspek produksi (supplay capacity) inilah yang dirangsang agar dapat memenuhi permintaan agregat. Mereka tidak sependapat dengan kaum monetaris untuk mengurangi permintaan agregat, sebab pengurangan tersebut akan menurunkan output domestik (terutama dalam jangka pendek), menurunkan investasi, dan dalam jangka panjang akan mengurangi penerimaan devisa. Oleh karena itu, kaum strukturalis menyarankan tindakan stabilisasi yang berupa menghilangkan hambatan-hambatan struktural dan “ supplay-bottleneck” sehingga kapasitas output secara keseluruhan bisa ditingkatkan. Dengan cara ini, maka ‘excess demand’ itu dengan sendirinya akan hilang, dan sumber-sumber dapat diarahkan penggunaannya untuk memenuhi permintaan luar negeri (memperbaiki posisi neraca pembayaran luar negeri), tanpa perlu mengurangi output domestik (domestic absorption).
Perdebatan Monetarist dan Structuralist di atas sama saja dengan perdebatan masalah inflasi itu disebabkan oleh faktor-faktor “cost-pust” atau “demand-pull”. Menurut Crockett, analisisnya tidak bisa dilakukan secara teori “mutually exclusive” (memilih hanya salah satu). Sebab inflasi merupakan proses interaksi yang rumit dimana permintaan agregat mauoun struktur ekonomi (termasuk struktur ‘expectation). Kedua-duanya memiliki peranan penting.
Sintesis yang sama bisa saja terjadi dalam menganalisis stabilisasi ekonomi di negara-negara yang sedang berkembang. Dengan harga relatif dan struktur output tertentu (given), maka keberhasilan perekonomian mencapai stabilisasi tergantung kepada bagaimana luasnya dan efektifnya permintaan domestik itu dibatasi. Akan tetapi rigiditas produksi juga bisa mempengaruhi berkurangnya output dalam proses transisi mencapai keseimbangan finansial.
Ada pendapat yang mengatakan, bahwa keseimbangan neraca pembayaran internasional merupakan suatu konstrain yang tidak bisa dilupakan begitu saja, karena menyangkut sumber penghasilan negara yang berasal dari luar negeri. Seringkali terjadi konflik (internal-external balamce), bahwa pencapaian keseimbangan neraca pembayaran internasional harus mengorbankan pertumbuhan ekonomi dalan negeri. Tapi pengalaman tahun 1970-an ternyata menyatakan bahwa pwncapaian sasaran kebijaksanaan stabilisasi (turunnya inflasi dan keseimbangan neraca pembayaran internasional) tidak perlu mengorbankan pertumbuhan ekonomi (output), kecuali dalam jangka pendek.
Penerapan kebijaksanaan stabilisasi dinegara-negara yang sedang berkembang harus memperhitungkan karakristik perekonomian negara-negara terssebut, antara lain:
1. Rendahnya derajat substitutabilitas antara output dalam negeri dan output luar negeri.
2. Kecilnya kekuatan pasar (daya saing)
3. Pasar uang yang belum berkembang (untuk menarik kapital luar negeri)
Karakristik seperti itu memang menimbulkan kesulitan memperbaiki untuk memperbaiki posisi neraca pembayaran internasional dengan kebijkasanaan pembatasan ‘domestic demand’. Tetapi ini tidak berarti bahwa kebijkasanaan ‘demand managemant’ tersebut tidak penting. Kebijaksanaan seperti itu tetap diperlukan untuk merangsang realokasi penggunaan sumber-sumber. Kebijaksanaan ‘demand managemant’ ini juga merupakan pelengkap bagi kebijaksanaan di sisi penawaran (supplay side).
Kenyataanya, diperlukan suatu peket kebijaksanaan pengketatan moneter maupun fiskal, dan yang seringkali mencakup penyesuaian (adjustment) tingkat bunga dan kurs valuta. Adalah mungkin jika mengubah struktur permintaan dengan perubahan-perubahan harga relatif, misalnya devalusi dan adjustment tingkt bunga. Tugas dari kebikasanaan stabilisasi adalah mencapai/menghasilkan tingkat permintaan (demand) sesuai dengan yang diharapkan, dan pada saat yang sama dapat menurunkan tingkat inflasi, tanpa mengakibatkan menganggurnya faktor-faktor produksi.
Kecepatan perubahan tingkat dan struktur demand tersebut akan tergantung kepada batasan-batasan eksternal (tersedianya dana) dan batasan-batasan internal (alasan-alasan politik berkenaan dengan kebijaksanaan (deflationary).
Pada sisi supplay, bidang utama yang memerlukan garapan kebijaksanaan untuk meningkatkan output dan pertumbuhan, adalah rasionalisasi harga. Dengan hilangnya distorsi/hambatan dan gangguan “cost/price” maka alokasi sumber-sumber akan menjadi lebih baik, dan ini berarti meningkatkan efisiensi keputusan investasi, serta menaikkan tingkat tabungan dan investasi secara keseluruhan. Tetapi untuk negara-negara yang sedang berkembang distoesi-distorsi “cost/price” sering muncul karena alasan-alasan sosial-politik, sehingga memang agak sukar untuk menghilangkanya.
Pemilihan kebijaksanaan “demand managemant” dalam perogram stabilisasi, harus memperhitungkan kemungkinan berkurangnya output dalam masa transisi (jangka pendek). Untuk itu diperlukan juga kebijaksanaan di sisi supplay yang dapat meningkatkan kapasitas supplay keseluruhan dalam perekonomian. Apabila keseimbangan antara supplay dan demand itu dapat dicapai tanpa harus mengurangi tingkat konsumsi riil, maka program stabilisasi tersebut pasti akan memperoleh konsessus politik. Itu berarti mempengaruhi kriteria “economic walfire” yang secara ekonomis, politik dan sosial memnuhi syarat. Kebijaksanaan di sisi supplay yang diperlukan meliputi: pengurangan distorsi harga, memperbaiki alokasi sumber-sumber, dan memobilisasi tabungan (sukarela) masyarakat. Demikian Crockett
BAB III
KEBIJAKSANAAN STABILISASI DALAM MENJALANKAN PEREKONOMIAN INDONESIA
Di dalam menjalankan fungsinya sebagai pelaku ekonomi yang memiliki fungsi prioritas sebagai dinamisator dan stabilisator, maka pemerintah perlu merencanakan dan melaksanakan tindakan-tindakan yang berkesinambungan guna menyiapkan, mengarahkan kegiatan ekonomi indonesia. Tindakan-tindakan itulah yang kemudian lebih dikenal dengan kebijaksanaan stabilisasi pemerintah di bidang ekonomi. Meskipun demikian kebijaksanaan dibidang lain tiak kalah pentingnya dalam mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan kebijkasanaan ekonomi itu sendiri.
Dari sekian banyak kebijaksanaan ekonomi yang pernah, sedang dan akan dijalankan oleh pemerintah dengan dukungan semua pelaku ekonomi di insonesia, apapun istilahnya dapat dikelompokkan kedalam Kebijaksanaan Moneter dan Kebijkasanaan Fiskal.
A. Kebijaksanaan Moneter.
Kebijksanaan moneter adalah sekumpulan tindakan pemerintah di dalam mengatur perekonomian melalui peredaran uang dan tingkat suku bunga. Kebijaksanaan ini ditempuh untuk mengantisipasi pengaruh-pengaruh positif dan negatif dari peredaran uang dan tingkat suku bunga yang berlaku dimasyarakat. Hal ini dapat dimengerti karena peran uang yang sangat begitu vital dalam kehidupan perekonomian suatu negara, begitu pula pentingnya tingkat suku bunga yang dapat mempengaruhi pola kegiatan investasi di Indonesia.
Di dalam sistem perekonomian indonesia, kebijaksanaan moneter ini dijalankan oleh pemerintah melalui lembaga keuangan yang disebut dengan Bank Indonesa (BI). Bank Indonesia seperti halnya di negara-negara lain, adalah satu-satunya bank sentral indonesia yang secara lebih rinci memiliki tugas :
Ø Sebagai bank-nya pemerintah, dalam arti membantu pemerintah dalam mengelola (meminjam dan meminjami) dana pemerintah yang akan dipergunakan untuk pemerintah.
Ø Sebagai bank-nya bank umum, dalam arti akan membantu para bangk umum dalam kegiatan operasional dana yang dimiliki atau dibutuhkannnya.
Ø Sebagai lembaga pengawasan kegiatan lembaga keuangan, dalam arti mengawasi produk-poiduk yang dikeluarkan oleh masing-masing lembaga keuangan yang dapat mempengaruhi peredaran uang dan iklim investasi.
Ø Bersama lembaga keuangan lainnya bertugas sebagai lembaga pengawas kegiatan ekonomi di sektor luar negeri
Ø Memperlancar kegiatan perekonomian dengan cara mencetak uang kartal (kertas dan logam).
Di lihat dari upaya yang ditempuh pemerintah, kebijaksanaan moneter ini dapat dikelompokkan menjadi dua jenis kebijaksanaan moneter:
a. Kebijaksanaan moneter kuantitatif
Sesuai dengan namanya jenis kebijaksanaan moneter ini dijalankan dengan mengatur uang beredar dan tingkat suku bunga dari segi kuantitasnya. Kebijaksanaan jenis ini umumnya dijalankan dengan tiga cara, yaitu:
Petama, dengan melakukan pasar terbuka, yakni dengan menjual-belikan surat-surat berharga (SBI) yang dimiliki oleh Bank Indonesia, dengan harapan uang yang beredar akan menjadi lebih banyak atau menjadi lebih sedikit sesuai yang diperlukan dalam perekonomian.
Kedua, dengan merubah tingkat suku bunga diskonto. Cara ini dilakukan sebagai alternatif dari operasi pasar tebuka. Tingkat suku bunga diskonto adalah tingkat suku bunga yang berlaku dalam transaksi moneter antara Bank Indonesia dengan bank umum. Proses dari cara ini adalah, jika dengan asumsi yang sama, bahwa agar uang yang beredar tidak terlalu banyak, maka tindakan yang dapat dilakukan adalah dengan menaikkan tingkat suku bunga sidkonto. Dengan suku bunga diskonto yang tinggi maka bank umum tidak akan meminjam uang dari Bank Indonesia dengan jumlah yang banyak. Sehingga uang yang beredar di bank umum sedikit, akibatnya uang yang tersalurkan di masyarakat menjadi sedikit. Dengan demikian uang yang beredar tidak menjadi lebih banyak lagi. Akibat ini juga akan tercapai jika dengan suku bunga diskonto yang tinggi, bank umum lebih memilih mentimpan uangnya di bank Indonesia dari pada mengeluarkanya untuk masyarakat.
Ketiga, dengan cara merubah prosentase cadangan minimal yang harus dipenuhi oleh setiap bank umum. Jika bank umum memiliki kelebihan cadangan minimal,maka operasi pasar terbuka akan gagal. Jika ini yang terjadi maka Bank Indonesia masih dapat mengatasinya dengan cara menaikkan prosentase wajib cadangan minimalnya. Dengan cara ketiga ini, uang beredar dapat dikurangi, namun demikian cara inipun akan gagal jika bank umum kembali menetapkan/memiliki kelebihan cadangan minimal lagi.
b. Kebijaksanaan moneter kualitatif
Untuk lebih mensukseskan cara-cara kuantitatif di atas maka Bank Indonesia dapat melakukan kebijaksanaan moneter yang bersifat kualitatif ini, yang dimaksud dengan kebijaksanaan moneter kualitatif ini adalah dengan mengatur dan menghimbau pihak bank umum/lembaga keuangan lainnya, baik manajemannya maupun produk yang ditawarkan kepada masyarakat guna mendukung kebijaksanaan moneter kuantitatif yang sedang dilaksanakan oleh Bank Indonesia. Bank indonesia akan menghimbau kepada manajeman bank umum untuk tidak memiliki kelebihan cadangan minimal yang telah ditetapkan. Di samping itu kebijaksanaan ini juga bertujuan untuk lebih mengawasi kegiatan perbankan dan lembaga keuangan lainnya agar tidak sampai merugikan masyarakat, bank umum itu sendiri sampai dengan perkonomian secara umum.
B. Kebijaksanaan Fiskal.
Jika di dalam kebijaksanaan pemerintah menggunakan elemen uang beredar dan suku bunga untuk mengatur perekonomian, maka kebijaksanaan fiskal adalah suatu tindakan pemerintah dalam mengatur perekonomian melalui anggaran belanja negara, dan biasanya dikaitkan dengan masalah perpajakan. Meskipun tidak selalu demikian, namun orang lebih melihat kebijaksanaan fiskal sebagai kebijkasanaan pemerintah di sektor perpajakan.
Kebijaksanaan fiskal (dalam hal ini melalui perpajakan) dapat dibedakan dari berbagai segi. Pertama, jika dilihat dari segi pembayarannya, sistem pembayaran pajak dibagi menjadi pajak langsung dan pajak tidak langsung. Pajak langsung adalah pajak yang pembayarannya tidak dapat dilimpahkan kepada pihak lain. Sedangkan pajak tidak langsung adalah pajak yang pembayarannya dapat dilimpahkan kepada pihak lain, seperti pajak pertambahan nilai, cukai rokok, dan sejenisnya.
Kedua, jika dilihat dari besar-kecilnya pajak yang harus dikeluarkan oleh wajib pajak, pajak jenis ini dapat dibagi dalam:
Pajak regresif, yakni pajak yang besar-kecilnya nilai yang harus dibayarkan, ditetapkan berbanding terbalik dengan besarnya pendapatan wajib pajak. Semakin tinggi pendapatan wajib pajak, semakin kecil pajak yang harus dibayarkan.
Pajak sebanding, pajak yang besar-kecilnya sama untuk berbagai tingkat pendapatan, umumnya untuk tiap jenis komoditi dengan karakristik yang sama.
Pajak Progresif, adalah pajak yang besar-kecilnya akan ditetapkan searah dengan dengan besarnya pendapatan wajib pajak, semakin tinggi pendapatan maka akan semakin besar pula pajak yang harus dinayarkan. Sebaliknya semakin kecil pendapatan, maka semakin kecil pajak yang akan dikeluarkan (standar wajib pajak).
Ketiga, jika dilihat dari segi tujuan ditetapkannya, maka ada beberapa tujuan dari adanya kebijaksanaan perpajakan ini, yakni:
1. Pajak sebagai salah satu sumber penerimaan pemerintah yang cukup potensial. Dengan demikian baiknya tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia, maka semakin besar pula nilai pajak yang dapat dihimpun oleh negara. Hal ini didukung dengan semakin banyaknya objek pajak yang dapat dikenai pajak.
2. Pajak sebagai alat pengendali tingkat pengeluaran masyarakat, dengan sistem perpajakan dapat membantu pemerintah dalam hal menekan pengeluaran, terutama jika kondisi perekonomian sedemikian capatnya sehingga dapat memicu inflasi yang semakin tidak terkendali, sehingga pengeluaran pemerintah dan masyarakat perlu dikurangi. Dengan adanya pajak pendapatan disposible (Yd) yang siap dibelanjakan menjadi berkurang, sehingga konsumsi akan ikut mengalami pengurangan.
3. Pajak sebagai salah satu alat untuk pemerataan pendapatan dan kekayaan masyarakat. Dengan pajak dapat dilakuka upaya untuk mempersempit jurang kesenjangan antara golongan ekonomi kuat dan lemah. Pajak yang dihimpun dari ekonomi kuat dapat disebar kembali ke rakyat banyak dalam benttuk subsidi, bantuan kemanusiaan, pembangunan inpra struktur dan lain-lain. Dengan demikian si kaya turutmenyisihkan sebagian dananya untuk kepentingan rakyat melalui pajak yag dibayarkan. Di pihak lain tentunya pemerintahpun akan memberikan kepada para ekonomi kuat dalam memperlancar aktivitas usahanya.
C. Kebijaksanaan Moneter Dan Fiskal di Sektor Luar Negeri
Di dalam sektor luar negeri, kedua kebijaksanaan ini memiliki istilah lain, yang di dalam istilah tersebut terdapat kombinasi antara keduanya. Istilah yang dimaksud adalah: kebijaksanaan menekan pengeluaran dan kebijaksanaan memindah pengeluaran.
a. Kebijaksanaan menekan pengeluaran
Kebijaksanaan ini dilakukan dengan cara emngurangi tingkat konsumsi/pengeluaran oleh para pelaku ekonomi. Cara-cara yang ditempuh diantaranya adalah:
1. Menaikkan pajak pendapatan
Dengan tindakan ini maka pendapatan yang siap untuk dibelanjakan masyarakat (disposible income) menjadi berkurang sehingga diharapkan masyarakat akan mengurangi prosentase pengeluarannya.
2. Menaikkan tingkat bunga
Kebijaksanaan ini akan menekan laju investasi yang berarti pengeluaran dari sektor ini akan berkurang.
3. Mengurangi pengeluaran pemerintah.
Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan perombakan ulang jadwal proyek-proyek dengan lebih mengutamakan proiritas kebutuhan yang lebih mendesak, dan dengan mengurangi bentik-bentuk subsidi yang tidak lagi relevan.
Jika dilihat daritindakan-tindakan yang diambil tersebut, bawa kebijaksanaan ini tampaknya tidak cocok untuk perekonomian yang sedang mengalami tingkat pengangguran yang tinggi. Karena dengan kondisi perekonomian yang seperti itu, justur perekonomian sedang membutuhkan dana yang besar untuk menaikkan investasi, sehingga dapat tercipta lapangan pekerjaan yang dapat menampung para penganggur.
b. Kebijaksanaan memindah pengeluaran.
Jika dalam kebijaksanaan peneluaran, pengeluaran para pelaku ekonomi diusahakan berkurang, maka dalam kebijaksanaan ini pengeluaran mereka tidak berkurang, hanya dipindah dan digeser pada bidang yang tidak terlalu berisiko memperburuk perekonomian. Kebijaksanaan ini dapat dilakukan secara paksa dan dapat juga dipergunakan dengan memakai rangsangan. Secara paksa kebijaksanaan ini dapat ditempuh dengan cara:
1. Mengenakan tarif atau quota, dengan tindakan ini diharapkan masyarakat akan memindah konsumsinya ke komoditi produk dalam negeri, karena dengan dikenakannya kedua hambatan perdangan tersebut, harga komoditi impor menjadi nahal.
2. Mengawasi pemakaian valuta asing, hal ini dapat dilakukan dengan memperhatikan maksud dan tujuan dalam penggunaan valuta asing. Kemudahan akan diberikan kepada mereka yang akan menggunakan valuta asing tersebut untuk mengekspor komoditi yang efek positifnya adalah meningkatnya produktivitas perekonomian dalam negeri.
Sedangkan kebijaksanaan memindah pengeluaran yang dilakukan dengan rangsangan dapat dilakukan dapat di tempuh dengan cara:
1. Menciptakan rangsangan-rangasangan ekspor, misalnya dengan mengurangi pajak komoditi ekspor, memberantas pungutan liar dan biaya-biaya siluman yang dapat membebani harga komoditi ekspor.
2. Menstabilkan upah dan harga dalam negeri, dengan demikian akan memberi iklim yang lebih sehat bagi konsumen dalam negeri dalam mengkonsumsi produk dalam negeri. Upah yang stabil akan memberi kepastian pendapatan masyarakat, dan dengan kepastian harga akan menghindarkan dari tindakan spekulasi.
3. Melakukan devaluasi. Devaluasi adalah tindakan pmerintah dalam menurunkan nilai mata uang rupiah (Rp) terhadap kurs asing, yang bertujuan untuk meningkatkan volume transaksi komoditi ekspor, dengan harapan penerimaan negara meningkat dari sektor perdagangan luar negeri, sehingga diperoleh dana pembangunan yang lebih banyak. Namun demikian, manfaat devaluasi tersebut baru dapat dirasakan jika memnuhi beberapa kondisi di bawah ini:
Pertama, permintaan komoditi ekspor Indonesia memiliki sifat yang elastis, artinya bahwa perubahan sedikit pada harga akan menyebabkan kenaikan permintaan yang signifikan terhadap komoditi tersebut dalam volume yang jauh lebih besar. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam grafik berikut:
Grafik di atas menunjukkan bahwa jika komoditi ekspor memiliki elastisitas permintaan seperti ini, maka devaluasi akan ada manfaatnya. Adanya penurunan sedikit dalam harga (dari P0 ke P1) akan menyebabkan kenaikan volume permintaan di luar negeri jauh lebih besar (dari Q0 ke Q1).
Namun jika komoditi ekspor memiliki sifat inelastis, seperti yang di tunjukkan dalam grafik:
Maka penurunan harga yang cukup besar (akibat devaluasi) dari P0 ke P1 ternyata tidak diimbangi dengan kenaika volume ekspor (dari Q0 ke Q1) yang hanya naik sedikit saja. Sehingga kenaikan yag sedikit tersebut tidak cukup untuk menutupi ‘kerugian’ yang terjadi dari tindakan devaluasi.
Kedua, jika permintaan komoditi impor juga bersifat elastis, yakni dengan kenaikan harga yang sedikit (efek devaluasi), maka akan terjadi penurunan permintaan masyarakat dalam negeri dalam volume yang lebih besar, dengan demikian tindakan devaluasi membawa hasil. Namun jika sifat barang impor tersebut inelastis, meskipun harga komoditi impor telah diturunkan, bahkan dengan prosentase yang besar sekalipun, tetapi selera masyarakat dalam negeri tinggi, maka tindakan devaluasi tidak membawa hasil yang positif.
Ketiga, adanya kemampua pemerintah dan masyarakat dalam mengendalikan inflasi dalam negeri. Jika inflasi tetap tinggi, maka harga di dalam negeri cenderung tinggi, sehingga jika produk dalam negeri diekspor maka harganya juga akan tinggi, sedangkan kebijaksanaan devaluasi itu sendiri bertujuan menurunkan harga komoditi ekspor.
Keempat, adalah hubungan kemitraan dalam hal menetapkan sebuah kebijaksanaan yang sama antara negara yang satu dengan negara yang menjadi mitranya.
BAB IV
KESIMPULAN
Stabilisasi ekonomi dapat didefinisikan sebagai usaha-usaha untuk memperbaiki keseimbangan antara penawaran da permintaan agregat dalam perekonomian, dengan tujuan untuk mengurangi inflasi dan memperkuat posisi neraca pembayaran internasional.
Menurut Monetarists, inflasi dan memburuknya posisi neraca pembayaran adalah selalu disebabkan oleh dibiarkannya ‘agregat demand’ melebihi ‘ agregat supplay’. Oleh karena itu, tindakan stabilisasi yang harus dilakukan adalah membatasi ‘agregat demand’ sehingga sesuai dengan kapasita s penawaran.
Sebaliknya kaum Structuralist berpendapat bahwa kapasitas produksi itu belum dimanfaatkan sepenuhnya. Seharusnya aspek produksi (supplay capacity) inilah yang dirangsang agar dapat memenuhi permintaan agregat. Mereka tidak sependapat dengan kaum monetaris untuk mengurangi permintaan agregat, sebab pengurangan tersebut akan menurunkan output domestik (terutama dalam jangka pendek), menurunkan investasi, dan dalam jangka panjang akan mengurangi penerimaan devisa.
Dari sekian banyak kebijaksanaan ekonomi yang pernah, sedang dan akan dijalankan oleh pemerintah dengan dukungan semua pelaku ekonomi di insonesia, apapun istilahnya dapat dikelompokkan kedalam Kebijaksanaan Moneter dan Kebijkasanaan Fiskal.
Kebijksanaan moneter adalah sekumpulan tindakan pemerintah di dalam mengatur perekonomian melalui peredaran uang dan tingkat suku bunga. Sedangkan kebijaksanaan fiskal adalah suatu tindakan pemerintah dalam mengatur perekonomian melalui anggaran belanja negara, dan biasanya dikaitkan dengan masalah perpajakan.
DAFTAR PUSTAKA
Iswara, Glan. A. dan Nopirin. 1985. Ekonomi Moneter. Yogyakarta: BPFE
Simanjuntak, Timbul Hamonangan dan Imam Mukhlis. 2012. Dimensi Ekonomi Perpajakan Dalam Pembangunan Ekonomi. Jakarta: RAS
Setyawan, Aris Budi. 2001. Perekonomian Indonesia. Jakarta: Gunadarma
Tidak ada komentar:
Posting Komentar